Rabu, 16 Januari 2013

KUNCI RUMAHKU ADA PADAKU
Sepintas Tio memang nampak pendiam dan tak diketahui oleh siapapun apa kelebihan yang ada padanya. Setiap gadis memandang akan mengatakan, Tio adalah sosok laki-laki diam ( bukan pendiam ) santun dan suka membaca. Tidak sedikit gadis yang mengagumi Tio atau dengan nama lengkap Prasetyo Nugroho, yang tinggal di desa Pluneng Klaten, Jawa Tengah itu. Dengan diamnya itu Tio memang nampak sebagai laki-laki berwibawa dan tegas saat bicara untuk ungkapkan suatu pendapat dalam perkumpulan pemuda desa dalam kegiatan-kegiatan bersama dalam Karang Taruna maupun kegiatan pemuda dan pemudi di desa itu.

Mengenal kepribadiannya yang sangat menghargai orang lain, menjaga nama baik setiap orang yang dikenalnya, termasuk nama baik keluarga merupakan pekerjaan tidak mudah, namun sangat terbiasa bagi sosok Prasetyo Nugroho. Aku tidak yakin menaruh hati apalagi punya rencana mencintai Tio, yang ada di dalam pikiranku hanya kagum dengan segala sikap dan keputusan-keputusan tepat dan cerdas yang sering diungkapkan dalam berbagai kegiatan pemuda desa. Disamping itu aku melihat begitu banyak gadis agresif mendekati dan bersuka ria dengan Tio, walau aku lihat Tio bersikap sama dengan begitu banyaknya gadis yang berlomba memikat hatinya. Hatiku hanya berkata memang pantas seorang Tio dikagumi karena baik dan tidak banyak ulah. 

Hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. . .dan bulan berganti tahun terdengar kabar miring tentang Tio. Teman. . .tetangga. . .saudara. . .bahkan keluarganya sendiri menghujat akan nasib Tio yang dikeluarkan dari kuliahnya karena sering membolos dan jago pacaran. Aku melihat sedih saat semua orang menyingkir dan mencibirkan bibirnya untuk Tio. Saat saudaranya mencaci maki di haapanku, aku coba melerai dan hentikan kata-kata yang membuat malu di depan umum. Bagiku tak adil menyikapi suatu kegagalan atau kehancuran seseorang dengan menghujat dan menghardik secara kejam di depan umum pada sosok Tio yang tak pernah ada kata caci maki untuk orang lain apa lagi menjelekkan keluarga atau saudara sendiri. Hatiku mulai menaruh perhatian secara khusus untuk bangkitkan semangat Tio sekaligus ingin tahu permasalahan sesungguhnya yang menimpanya.

Secara diam-diam ternyata Tio melihat sikapku dan hargai usahaku untuk memberi pengertian pada siapapun juga yang mencoba mengejek atau memojokkannya. Aku makin bangga pada Tio yang aku khawatirkan akan tidak muncul lagi dalam kegiatan-kegiatan pemuda desa, ternyata yang namanya Tio justru makin semangat dan sering berdiskusi denganku trentang rencana-rencana memajukan pemuda desa dengan terobosan kegiatan kunjungan ke desa lain untuk pertandingan persahabatan atau sekedar acara pentas seni bersama dengan beberapa desa dalam acara-acara tertentu yang memungkinkan untuk dilaksanakan.

Tidak jarang bila Tio sedang berbincang-bincang tentang satu rencana denganku, diserobot oleh orang lain atau bahkan saudaranya sendiri agar tidak usah melibatkan Tio yang bukan anak sekolahan atau pengangguran itu. Melihat keadaan yang sulit aku untuk menyikapi dan mencari jalan keluar dari sikap-sikap orang yang sok pintar dan asosial itu, aku terdiam sejenak dan membiarkan semua pembicaraanku dengan Tio beserta rencana-rencananya diambil dan diteruskan oleh banyak orang yang berkerumun dalam satu pertemuan itu. Dan beberapa kali kejadian itu berulang dan rencana atau ide-ide bagus dari Tio yang sudah didiskusikan denagnku untuk dibuat proposal atau perencanaan matang diambil alih, namun Tio tetap Tio yang aku kagumi dari awal aku melihat sosok Tio yang diam dan rendah hati.

Suatu hari aku dengar kabar Tio mulai kuliah lagi, dan keceriaan makin nampak di wajah Tio yang lembut dan tampan itu. Meski orang makin mengejek akan usaha Tio untuk kuliah kembali, namun Tio akui kesalahan yang dulu dan ingin ditebusnya dan dibuktikannya bahwa Tio bisa untuk berhasil dan mampu raih impiannya. Aku mulai tenang melihat semangatnya yang makin tinggi untuk berhasil dan makin meredalah kata-kata sumbang untuk Tio, terlebih saat bulan demi bulan berlalu hingga semester satu dilalui dengan nilai yang memuaskan, mengalahkan ornag-orang yang telah dahulu kuliah, dan bahkan mampu mengejar teman kuliahnya yang dahulu pernah satu tinggkat yang satu tahun lalu telah ditinggalkannya. Ternyata Tio bukan dikeluarkan dari kampus dan bukan karena sering membolos untuk pacaran, melainkan Tio  tidak dapat melunasi uang kuliah yang sudah nunggak dengan batas peringatan ke tiga. Menyedihkan memang melihat nasib Tio yang cerdas namun cita-cita hampir kandas karena ketidak berdayaan keluarga dalam hal dana dan fasilitas. Aku diam-diam makin menaruh hati dengan Tio yang berhati mulia. Saat dicemooh dan diejek oleh orang lain bahkan saudaranya sendiri, Tio tidak berang namun tenang dan tetap menghadapi nasibnya dengan senyum.

Aku masih beretanya dalam hati, apakah aku mulai mencintai Tio ataukah sekedar kasihan melihat nasib Tio. Bila aku bertemu dengan tio dan langsung terjadi pembicaraan yang nyaman, teman-teman lain mengatakan aku serasi dengan Tio. Tetapi aku dan Tio tidak menanggapi sebagai hal yang serius, karena tiap hari kami bertemu, dan tidak ada tanda-tanda apa lagi rencana ingin jatuh cinta. Demikian juga Tio tak ada sedikitpun respon yang namanya jatuh cinta. Semuanya biasa saja dan mengalir tanpa ada kata cinta hingga sampai Tio semester tiga. Setiap aku melihat Tio makan dalam pertemuan tertentu, meski jarak tempat duduk berjauhan, aku melihat seperti ada yang mengamati aku, dan setiap aku menyendok makanan, aku melirik Tio seperti menungguku untuk memasukkan makanan ke mulut secara bersamaan, aku jadi merasa risi8h dan terasa aneh, apa maksudnya dan apa mau Tio melakukan hal-hal konyol seperti itu. Aku tak ambil pusing apapun yang Tio lakukan dan bersikap aneh seperti itu, aku anggap angin lalu. Aku yakinkan hatiku tidak akan mencintainya dan Tio juga tak mungkin mencintaiku. Karena aku masih SMA kelas satu sementara Tio kuliah dengan teman-teman yang sudah berwawasan luas dan pergaulan kota yang lebih mendukung Tio untuk tunjukkan pada pemuda dan pemudi desa, bahwa dia yang tampan dan cerdas itu mampu pilih gadis idaman yang pasti banyak pilihan di kota tidak sekedar gadis desa sepertiku yang masih sering ke sawah dan menumbuk padi.

Saat sabtu Tio masih seperti biasa berkunjung atau main ke rumahku atau datang dipertemuan penuda desa. Tio masih seperti Tio yang dulu dan tidak berubah. Bahkan lebih aneh lagi kalau tidak kuliah datang pagi-pagi ke rumahku untuk mengajari aku main guitar dan dibuatkannya aku lagu-lagu nostalgia dengan kunci-kunci guitar yang mudah untuk aku pelajari sendiri kalau dia kuliah. Aku masih belum tahu apa yang ada di hati Tio. Aku hanya berpendapat Tio mempersiapkan aku untuk sebuah acara untuk bernyanyi dan Tio yang iingi nantinya. Aku sungguh-sungguh gadis lugu dan buta akan tanda-tanda orang jatuh cinta. Aku sendiri sangat malu untuk menunjukkan rasa jatuh cinta pada siapapun juga. Aku selalu jaga jarak dengan laki-laki karena takut dibilang suka atau jatuh cinta. 

Saat pentas seni di rumahku pada satu acara pemuda dan pemudi desa, aku kaget dengan tangan Tio yang menyerahkan surat untukku. Aku inginnya segera membacanya, namun Tio tidak segera pulang tinggalkan rumahku. Aku mondar-mandir ke belakang untuk membacanya, namun tiba-tiba Tio ada di belakangku, karena Tio hafal ruang-ruang rumahku yang sudah biasa sebagai tempat pertemuan.Aku merasa Tio paham akan sikapku yang segera ingin tahu isi surat itu, maka Tio bergegas pamit pulang walau pemuda-pemudi yang lain masih bersenda gurau. Setelah Tio pergi aku segera buka surat itu dan jantungku berdegup kencang, karena memang benar apa yang aku duga, surat cinta dari Tio yang entah aku harap atau tidak aku belum yakin, namun aku suka menerima dan membaca berulang-ulang kata cinta Tio yang takkan pernah berakhir dari dituliskannya untukku sampai akhir nanti. Aku terharu dan aku bersyukur pada Tuhan telah pilihkan Tio yang aku kagumi sikap, perilaku yang luarbiasa baik, santun dan menjaga perasaan siapapun agar tiada seorangpun terlukai olehnya, walau Tio harus dipermalukan, diejek dan caci maki oleh orang lain maupun saudara dan keluarganya.

Kini Tio menjadi suamiku yang sungguh-sungguh setia sesuai janji yang ditulisnya sejak aku SMA kelas satu hingga sekarang aku telah 25 tahun menikah. Aku pacaran dengan Tio saat aku berumur 17 tahun dan aku berpacaran sekali, menikahpun sekali dengan karunia dari Tuhan 3 orang anak yang cantik-cantik. Sekarang aku berumur 51 tahun. . .cinta kami tidak luntur dan kunci rumahku ada padaku. . .aku seorang istri yang akan tetap bangga pada suami apapun adanya. Suka-duka aku jalani bersama. AKu conto9hkan pada anak-anakku untuk bersikap yang terbaik dalam kehidupan ini, ada saatnya di keluarga, disekolah, dimasyarakat maupun kegiatan pengembangan iman untuk dijalankan dengan seimbang dan ditekuni semuanya engan baik. Keluarga baik akan membentuk masyarakat yang baik pula. Ilmu dan iman yang tertanam dengan baik akan mampu menepis setiap masalah yang ada. semua indah pada waktunya, karena rencana Tuhan selalu baik untuk siapapun jua dimana berada. Aku akan jaga kunci rumahku untuk selamanya takkan pernah hilang dan tak tegantikan. Terima kasih Tuhan telah berikan pendamping setia untukku seorang Tio. . .prasetio Nugroho. seindah namanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar